Vemale.com - Baru-baru ini di televisi disiarkan audisi
kompetisi bernyanyi untuk anak-anak. Dari sederet anak-anak bertalenta
yang tampil, tak sedikit anak - anak menjelma menjadi dewasa di usianya
yang belia. Karbitan? Diprogram? Atau mereka memang meniru gaya para
idolanya yang telah dewasa dan menggantikan gaya mereka sendiri yang
lucu dan lugu khas anak-anak?
Jika melihat pakem dan standar bagi
anak - anak seusia mereka selama ini dan minimnya sosok idola
anak-anak, bisa jadi memang anggapan tadi benar adanya. Dunia dan
penampilan anak semestinya masih penuh dengan keluguan dan kelucuan,
bukannya kedewasaan yang dipaksakan. Namun mereka toh terus menyanyi dan
berebutan tempat untuk diterima oleh para juri. Juri-juri yang dengan
gaya profesionalnya berbicara tentang teknik, penjiwaan dan harmonisasi,
tanpa peduli apakah anak - anak bisa menerimanya untuk dipahami. Sedang
di saat yang sama, yang ada dalam benak mereka hanyalah untuk segera
menjadi populer dan menjadi sebagaimana idola - idola mereka selama ini.
Ada
seorang teman yang pernah menyebut bahwa dunia hiburan adalah dunia
buatan yang artifisial, buatan dan tidak asli. Jika benar demikian,
gemerlapnya dunia selebritas ini otomatis akan menghilangkan
orisinalitas anak - anak dan spontanitas yang seharusnya masih mereka
miliki. Benarkah demikian? Lihat saja mata - mata mereka yang masih lugu
walau suara dan gaya mereka sempurna bak penyanyi manca negara. Teknik
vokal tingkat tinggi seperti sarjana lulusan institut menyanyi. Langkah
kaki mereka luwes seolah top dancer luar negeri yang memiliki mata di
kaki. Indah didengar, layak untuk dinikmati, tapi tetap tak masuk di
dalam hati.
Dahulu kala, para orang tua sangat menjauhkan anak -
anaknya dari panggung hiburan. Menyanyi, menari, menghibur, adalah tugas
orang dewasa. Jikapun ada anak - anak yang sempat melihat mereka dengan
mencuri - curi, keinginan untuk menjadi bintang sebatas berwujud dalam
kalimat 'jika aku besar nanti' atau dibawah pengawasan penuh orang
tuanya yang tak ingin citra keluguan khas anak-anak itu luntur digerus
dunia showbiz.
Kini segalanya terbalik. Anak - anak diberikan
contoh dan didorong untuk menjadi mereka yang besar dan ternama di dunia
hiburan yang penuh personifikasi. Anak - anak dijejali pikiran untuk
menjadi populer dan menghiasi media semenjak usia dini. Dari pagi
hingga malam hari. Dan lihatlah sebuah acara ultah sebuah stasiun TV,
dari awal hingga akhirpun hanya berisi para penghibur yang menari,
berlagu dan bernyanyi. Lengkap sudahlah hasutan dan provokasi bagi anak -
anak di negeri ini, untuk segera mengakhiri masa kanak - kanaknya dan
digantikan dengan mimpi - mimpi tentang popularitas dan warna - warni
pelangi dunia selebriti. Terkadang juga, dibumbui orang tua yang penuh
ambisi.
Anak - anak pemberian Tuhan adalah harta termahal. Mereka
adalah aset masa depan dan masa ke depannya lagi. Bagaimana orang tua
mengukir jiwa raga mereka dengan segala daya upaya adalah penentu
perwujudan mereka nanti saat mereka dewasa. Yang dicontohkan orang tua
mereka dalam keseharian adalah cetak biru jati diri mereka saat menjadi
manusia seutuhnya.
Ya, anak-anak adalah penduplikat yang paling
sempurna dalam meniru cara, kebiasaan dan perilaku orang - orang di
sekitar mereka. Karena alasan inilah, orang tua diharapkan menjadi
cerminan sehari - hari mereka sekaligus kompas penunjuk arah bagi mereka
hendak melangkah ke mana.
Apa jadinya anak - anak kita nanti? Hanya misteri yang dalam cemas dinanti - nanti.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments: