Pemilu Dalam Bayang Hitam Korupsi



Nyimas Dian Gayatri

Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Kyai Haji Abdul Kabir (STAIKHA) Kubang Petir Serang, Mantan Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), General Manager Krakatau Radio.





2019 merupakan tahun politik, dimana masyarakat akan disuguhkan berbagai pilihan figur yang kelak akan mewakili suara mereka di parlemen. Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik dari tingkat pusat sampai tingkat daerah pun telah melakukan tahapan demi tahapan untuk mensukseskan pesta demokrasi yang akan digelar di tahun 2019.

Pemilihan Umum (Pemilu) menurut Ali Moertopo merupakan sarana bagi masyarakat untuk melaksanakan kedaulatannya sebagai warga Negara sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945, jadi jelas bahwa pemilu adalah dalam rangka memberikan hak kepada masyarakat untuk memilih para wakilnya dan salah satu kesuksesan penyelenggara adalah peran aktif partisipasi masyarakat.

Berbagai insiden hukum yang terjadi selama 5 tahun terakhir terhadap para wakil rakyat, tentunya menjadi acuan bagi masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih bakal calon wakil mereka di parlemen nanti. Banyaknya wakil rakyat dan Kepala Daerah yang tersandung kasus hukum memberikan dampak negatif terhadap penyelenggaraan pemilu di Indonesia khususnya bagi KPU selaku penyelenggra pesta demokrasi.

Bagaimana tidak, sudah sebanyak 33 Kepala Daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Belum lagi puluhan wakil rakyat yang terjerat korupsi membuat sikap apatisme masyarakat bertambah besar, sementara partisipasi masyarakat merupakan salah satu indikator suskes atau tidaknya sebuah penyelenggaraan dari pemilu itu sendiri.

Selain KPU selaku penyelenggara, para peserta pemilu yaitu Partai Politik (Parpol) pun memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat. Dengan cara apa, dengan cara memberi jaminan kepada masyarakat, bahwa para calon wakil rakyat itu merupakan sosok yang dapat mengemban amanah dari pemilihnya.

Selain itu, yang menjadi Pekerjaan Rumah atau PR bagi Parpol, yakni amanat Undang-undang tentang keterwakilan perempuan sebanyak 30%, dengan harapan akan menarik simpati dan partisipasi masyarakat khususnya para perempuan, untuk ikut memilih calon wakil mereka. Tapi nyatanya dibeberapa daerah Parpol menjadikan perempuan hanya sebagai pemenuh kuota saja, bukan sebagai prioritas. Entah karena kader perempuan belum meyakinkan untuk dipasarkan oleh Parpol dengan pajangan paling depan atau mungkin memang para kader perempuan masih setengah hati untuk terjun ke ranah politik yang jelas penuh intrik.

Yang jelas, hal ini menjadi sebuah hal yang harus dirubah, sehingga demokrasi dapat menjadi sebuah kata yang dapat diimplementasikan secara baik oleh negara yang tugasnya diemban oleh KPU, diaplikasikan oleh Parpol sebagai wujud adanya demokrasi dan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali.

Namun, citra negatif para wakil rakyat sangat erat kaitannya dengan partisipasi pemilu, karena mereka adalah hasil produk demokrasi yang ternyata memberikan noda hitam terhadap kepercayaan masyarakat yang sulit untuk dihilangkan. Hal ini menjadi PR berat bagi KPU sebagai penyelenggara agar bisa memeriahkan pesta demokrasi dengan partisipasi aktif dari masyarakat.

Insiden penangkapan Komisioner KPU di salah satu Kabupaten, merupakan preseden buruk bagi kredibilitas KPU sebagai penyelenggara Pemilu. Di tengah banyaknya persoalan teknis dalam penyelenggaraan pemilu yang masih harus dibenahi, KPU mendapatkan pukulan keras dengan insiden tersebut. KPU harus mampu menjaga wibawanya sebagai lembaga yang mampu mengemban amanah besar penyelenggara demokrasi yang nantinya akan menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat.

Apa jadinya jika KPU sendiri terkotori oleh noda hitam Korupsi? Ironis, disaat masyarakat tengah hilang kepercayaan terhadap wakil mereka, disisi lain KPU yang menjadi tangga awal menuju demokrasi yang bersih-pun ikut ternoda oleh noda hitam korupsi.

KPU memiliki tugas berat sebagai penyelenggara di tengah maraknya suap dan korupsi. KPU selaku lembaga penyelenggara Pemilu harus mampu menjamin bahwa pesta demokrasi yang akan digelar adalah pemilu yang professional, sesuai dengan Undang-undang dan Peraturan KPU, karena hasil dari pesta demokrasi yang bersih, jujur dan terbuka akan menghasilkan para wakil rakyat yang sesuai dengan pilihan masyarakat.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.