Saman : Dari Tarekat ke Atas Pentas
Bismillah
naraman muja/ Ka Gusti Mahakawasa/ Gusti nu nyaangan beurang/ Gusti nu
mareuman damar/ Paralun ka para karuhun/ Pang jeujeuhkeun/ Pang
kersakeun/ Kami ndeuk nyaritakeun Saman/ Ti tutugan gunung karang/ Bisi
nebuk sisikuna/ Bisi nincak laranganana/ Sapun…
‘Ala hadiniyah..khusushon…/ Syech Saman al Madinati, alfatihah…
Ketika kita dalam ikhlas ‘mengirimkan’ fatihah untuk Syech Saman, berarti jelas bahwa Saman menunjukkan nama seseorang. Informasi tekstual tentang keberadaan
tokoh ini, diperoleh dalam sebuah manuskrip Leiden (Cod. Or. 7331, fol.
2B), yang isinya mengandung disiplin naqsabandiyah dan sekaligus
khalwatiyah. Dalam manuskrip ini, tercatat seorang asal Madinah bernama
Muhammad (bin Abdul Karim) As-saman (wafat tahun 1771), yang
‘menciptakan’ versi modifikasi khalwatiyya, yang selanjutnya biasa
disebut sammaniyya, yang sangat populer di Nusantara.
Peneliti tarekat di Indonesia Martin van
Bruinessen (1995) yang bertahun-tahun tinggal dan menetap di
pesantren-pesantren di Pandeglang, Banten, menyebut bahwa melalui
tarekat inilah ‘pemujaan wali’ (culf of saints) mengakar. Munculnya
pandangan ini disebabkan adanya kepercayaan dan keyakinan bahwa Syech
Samman mampu mentransfer kekuatan-kekuatan intervensi spiritual bagi
para penganutnya,
Di Indonesia, tarekat menempati posisi
yang signifikan. Sebagai satu set tegas teknik-teknik spiritual dan
praktik peribadatan, kegiatan tarekat yang paling penting adalah dzikir
(mengingat Allah) dengan menyebut asma Allah atau formula
laa-ilahaillallah dalam teknik spesifik yang dilakukan berulang-ulang
serta formula doa-doa yang bervariasi berupa hizab, shalawat, litanies
(ratib,wirid).
Dalam praktiknya, zikir-zikir tersebut
dikombinasikan dengan pengendalian nafas dan bentuk tubuh spesifik,
bahkan kerap dibumbui dengan praktik semedi (ascetic). Dari sinilah
muncul instruksi (talqin) dari syech (guru) tarekat yang telah memiliki
otoritas dengan membai’at (kepatuhan) kepada para pengikutnya, berupa
ijazah (ajaran) untuk melakukan dan menggunakan tarekat yang telah
dimilikinya, bahkan bisa mengajarkannya kepada orang lain, secara
otomatis syah-lah dia sebagai syech (guru) tarekat. Dengan cara inilah
muncul matarantai otoritas yang tak terputus dan berkembang terus
menerus, yang terintegrasi dalam bentuk sislilah geneologi spiritual.
Pada perkembangan selanjutnya, tarekat
tidak sekedar ritual sistem religi semata, akan tetapi berkembang
menjadi sistem jaringan komunikasi (network of communication) bahkan
bisa jadi sebagai matarantai otoritas bagi mobilisasi masa. Peristiwa
‘geger Cilegon’ pada tahun 1888, di bawah pimpinan KH Wasid, merupakan
contoh nyata peran kyai sufi menjadi penggerak pemberontakan petani
melawan penjajah (Kartodirdjo, 1984).
Tarekat dan Kesultanan Banten
Keberadaan Kesultanan Surasowan Banten
sebagai peletak dasar perkembangan Islam di ujung barat Pulau Jawa ini
sangat memiliki peran penting sebagai pembawa tarekat di Banten. Dalam
perjalanan sejarahnya, wilayah eks Kerajaan Sunda ini didirikan oleh
seorang ulama besar, Maulana Makdum/Sunan Gunung Jati, yang dimasukan ke
dalam daftar sembilan wali berpengaruh di tanah Jawa. Politik geneologi Sunan Gunung Jati
dengan cara menikahi putri penguasa Banten pesisir, Sang Surasowan,
ternyata berhasil menguasai wilayah utara. Putranya dari Nyai Kawung
Anten, Sabakingkin/Hasanuddin, ditunjuk sebagai penguasa pertama
kerajaan Islam itu. Gelar maulana (pejuang [Arab], biasa dipakai oleh
orang yang sangat dalam ilmunya atau ulama suci) yang disandang oleh
Hasanuddin dan kemudian diikuti kedua penerusnya, Yusuf dan Muhammad,
merupakan indikasi bahwa penguasa Banten meligitimasi dirinya sebagai
turunan suci atau pemilik pengetahuan dan kekuatan islam yang isoterik.
Konsep dewaraja dalam budaya kerajaan Hindu Budha terlihat jelas di
sini.
Baru kemudian, penguasa Banten ke-empat,
putra Maulana Muhammad, Abdul Qadir (1596-1651), secara signifikan
menggunakan gelar Sultan yang dimintanya dari Syarief Besar di Mekkah.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1638, Abdul Qadir mengirim putera
mahkota, Pangeran Pekik alias Sultan Abdul Ma’ali beribadah haji.
Sepulangnya dari tanah suci, dibawa buah tangan berbagai hadiah dan nama
baru bagi penguasa: ‘Sultan Abul Mufakhir Muhammad Abdul Qadir’
(Djajadiningrat, 1913/1983). Sejak saat itulah, penguasa Kesultanan
Surasowan Banten menggunakan gelar Sultan sebagai nama besar untuk
disandangnya.
Tentunya, pemberian gelar sultan oleh
syarief di Mekkah berdasarkan pertimbangan bahwa penguasa kesultanan
merupakan ahli agama. Moh. Ali Fadillah dalam suatu seminar
mengungkapkan bahwa gelar sultan yang disandang oleh para penguasa
Banten, berdasarkan keahlian tarekat yang dimiliki dan dikuasai oleh
para raja tersebut. Sebut saja Sultan Abdul Mafakhir, Sajarah Banten
mencatat beliau adalah raja sekaligus ulama besar yang banyak mengarang
kitab-kitab ilmu agama, salah satunya adalah kitab insan kamil. Intrest sejati (genuine) para penguasa
Banten dalam bidang agama, juga terafiliasi pada patronage (penaungan)
ulama-ulama lokal dan asing untuk menempati posisi-posisi tertentu di
istana, salah satu di antaranya yang paling terkenal adalah Syech Yusuf
al-Makasari (1627-1699) pada masa Sultan Abulfath Abdul Fatah (Sultan
Ageng Tirtayasa), yang menginisiasi beberapa tarekat: khalwatiyah,
naqsabandiyyah, syatariyyah, qadiriyyah, dan ba’alawiyyah.
Ketika riak-riak keruntuhan Kesultanan
Surasowan Banten mulai terasa, para ulama dan ahli agama banyak yang
keluar meninggalkan istana, mendirikan pesantren-pesanten di
lereng-lereng gunung yang tersebar di wilayah selatan Kesultanan Banten.
Dari balik-balik bukit itulah, para ulama menyebarkan tarekat-tarekat
yang dimilikinya kepada masyarakat sebagai modal perjuangan rakyat
melawan kekuasaan yang dholim. Bruinessen mencatat pesantren ‘tertua’ di
Banten terdapat di lereng Gunung Karang.
Tarekat yang berkembang di Banten,
seperti halnya di Indonesia, adalah qodariyah naqsabandiyah,
khalwatiyyah, syatariyyah, dan yang paling populer adalah sammaniyyah
dan rifaiyyah (Bruinessen, 1995).
Menurut Bruinessen, jejak-jejak
peninggalan tarekat sammaniyyah di Banten, di antaranya dijumpai pada
permainan debus Banten, yang kerap “menghadirkan” Syech Saman, sebagai
wali yang dimintai “perlindungan”, meski tidak semua ‘aliran’ debus
menggunakan ini. Jejak lainnya, yang jelas menggunakan nama tarekat ini,
adalah tarian rakyat yang disebut, saman. Ritual gerak-gerak ritmis
dinamis saman ini sesungguhnya merupakan tampilan fisik, pengaruh
kekuatan bersumber dari dzikir atau ratib sammaniyyah, yang dilantunkan
dalam lengkingan vokal yang tinggi.
Sammaniyyah dan seni Saman
Ketika mendengar seni saman, terbayang
tarian khas Aceh, dalam gerak-gerak dinamis yang dilakukan
berulang-ulang dengan tempo yang sangat cepat. Snouck Hurgonje (Abdul
Gaffar), yang menaruh perhatiannya terhadap kebudayaan Islam, khsususnya
di Aceh dan Banten, mencatat gerak dinamis saman yang diiringi lantunan
ratib dan dzikir menyebut asma Allah, pada perkembangannya terjadi
‘penyimpangan’ dalam lantunan dzikir dan ratib dengan ‘mengganti’
kata-kata sahadat, nama atau kata ganti yang dipakai dalam pengertian
Allah, dengan bunyi-bunyi tanpa makna (Hurgronje, 1985). Karenanya, seni
saman di Aceh, lebih menitikberatkan pada gerak dinamis. Berbeda dengan itu, seni saman di Banten
merupakan puncak dari rangkaian ritual dzikir mulud [tradisi ini juga
berkembang di Malaysia], yang digelar dalam rangka peringatan maulid
Nabi Muhammad Saw, setiap bulan Rabiul Awal.
Diawali dengan dzikir, yang merupakan
rangkaian doa serta pujian dan shalawat kepada Rasul Muhammad Saw.
Dilakukan dalam formasi duduk bersila berhadapan, layaknya upacara
kenduri. Syair-syair yang dibacakan terdengar jelas, berdoa memohon
perlindungan-Nya dan mengharap shalawat bagi Nabi Muhammad Saw. Pada bagian berikutnya, asroqal, yang
menonjolkan lengkingan vokal yang sangat tinggi (beluk), dalam
melantunkan syair-syair yang lamat-lamat terdengar tidak jelas. Di
bagian ini para ‘pemain’ mulai menggunakan ‘hihid’ [alat berbentuk kipas
berbahan kulit kerbau dengan tangkai pegangan dari kayu], yang diadukan
dengan hihid ‘lawan’ mainnya.
Bagian terakhir dalam rangkaian tradisi
ini adalah saman. Para ‘pemain’ bergerak “berjoged” mengikuti irama
beluk ‘syeh’ yang bersahutan dengan alok para pemain. Menurut pelaku
saman di Saketi, Kab. Pandeglang, bagian ini merupakan acara hiburan
setelah seharian berdzikir menyebut asma Allah, mengharap shalawat untuk
Nabi Muhammad Saw. Melihat kronologis ‘permainan’ Saman
Banten di atas, yang menitikberatkan ‘kesenian’ ini pada lengkingan
vokal yang unik dan khas, serta awal perkembanganya yang berangkat dari
tarekat samaniyyah, maka seni saman Banten ‘masuk’ ke dalam katagori
seni musik/vokal.
Saman Masa Depan
Ketika melakukan pengumpulan data
kesenian saman di lereng Gunung Karang dan Pulasari, khususnya di
wilayah Kecamatan Saketi, penulis mengalami kesulitan ‘mempelajari’
vokal khas saman yang melengking tinggi. Ritual demi ritual
‘penggurahan’ yang harus dilakukan berkali-kali adalah salah satu faktor
‘kesulitan’ tersebut. Boleh jadi, faktor itulah yang menjadi
penyebab ‘malasnya’ anak-anak muda mempelajari seni saman, yang pada
akhirnya rendahnya regenerasi kesenian khas Banten ini. Terlebih lagi
adanya kepercayaan bahwa ketika “ilmu” penguasaan vokal yang tinggi itu
diturunkan kepada orang lain, niscaya “ilmu” yang dimilikinya akan
terserap oleh muridnya, konsekuensinya sang guru sudah tidak memiliki
kemampuan dan tidak mampu untuk melantunkan lengkingan vokal saman
tersebut.
Untung saja, kini kesenian saman tidak
sekedar dimainkan pada acara ritual maulid nabi semata, akan tetapi
banyaknya masyarakat yang “menyewa” grup-grup saman untuk tampil dalam
acara pernikahan, sunatan dan event-event lainnya, membangkitkan gairah
berkesenian bagi para pelaku seni tradisi.
Oleh karena itu, sebagai upaya
‘pelestarian’ dan pengembangannya, perlu adanya lembaga pendidikan
formal yang mengajarkan kesenian saman kepada para muridnya. Atau
mungkin membuka ‘les vokal’ khusus saman?
Sebagai tambahan—sebatas yang pernah
penulis ketahui, lengkingan vokal menyerupai saman Banten, terdapat di
Tibet dan sudah berkali-kali masuk industri rekaman.
Alhamdulillah puja pamunah
Ka Gusti Mahakawasa
Nu nyaangan alam dunya
Nu mareuman alam moksya
Kami nggeus naguar saman
Paralun ka para karuhun
Bisi nebuk sisikuna
Bisi nincak laranganana
Sapun…
Daftar Pustaka
- _______, Aceh Rakyat dan Adat Istiadatnya, Jilid II, INIS, Jakarta
- Bruinessen, Martin van, 1995. Shari’a Court, Tarekat and Pesantren: Religiuos Institusions in the Banten Sultanate. Archipel 50.
- Bruinessen, Martin van, 1995. Kitab Kuning. Tarekat dan Pesantren. Mizan, Jakarta
- Djajadiningrat, P.A. Hoesein, 1913/1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten. KITLV-Djambatan, Jakarta
- Fadillah, Moh. Ali, 2004. Kesenian Debus Dari Perspektif Pariwisata Banten dalam Jurnal Kebudayaan dan Pariwisata. Litbang Budpar, Jakarta
- Gazalba, Sidi, 1988. Islam dan Kesenian. Relevansi Islam dan Seni Budaya. Pustaka Alhusna, Jakarta
- Hurgronje, Snouck, 1985. Aceh di Mata Kolonialis. Yayasan Soko Guru, Jakarta
- Hurgronje, Snouck, 1993. Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje VIII. INIS, Jakarta
- Iskandar, Yoseph, Dadan Sujana, dkk, 2001. Sejarah Banten. Dari Masa Nirleka sampai Kejayaan Kesultanan Surasowan Banten. TSA, Jakarta
- Michrob, Halwany dan Mudjahid Chudori, 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Saudara, Serang
- Nasution, Isman Pratama, 1997. Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten dalam Antropologi Indonesia. Jurusan Antropologi FISIP UI, Jakarta
- Sujana, Dadan (tanpa angka tahun), Sinopsis Kesenian Tradisional Pandeglang. Yayasan Salakanagara dan LP2KP, Pandeglang. (tidak diterbitkan)
Tidak ada komentar